Maraknya perilaku Korupsi yang terjadi di berbagai kalangan pada saat ini memotivasi Komunitas Online untuk belajar memahami makna dari korupsi ini dan membagikannya buat Anda semua.
Korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio, dari kata kerja corrumpere, yang berarti : busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption, dan Belanda yaitu corruptie, koruptie.Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi.
Korupsi berasal dari bahasa Latin, corruptio, dari kata kerja corrumpere, yang berarti : busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Perancis yaitu corruption, dan Belanda yaitu corruptie, koruptie.Dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia menjadi korupsi.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi berasal dari kata korup yang berarti busuk, palsu, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. Korup juga berarti dapat disogok, menyelewengkan uang/barang milik perusahaan atau negara, menerima uang dengan menggunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan tempat seseorang bekerja untuk kepentingan pribadi atau orang lain
Dalam bahasa Arab, istilah korupsi baru bisa diketemukan dalam kamus-kamus modern seperti Hans Wehr, al-Mawrid, dan Al-Munawwir. Padanan kata korupsi diambil dari kata risywah, yang dimaknai uang suap, penyuapan dan korupsi, penyuapan (bribery), korupsi (corruption), dan ketidakjujuran (dishonesty).
Menurut Syed Husein Alatas, korupsi tidak saja berada pada wilayah penyelewengan keuangan negara (material benefit), tetapi korupsi mencakup beberapa penyimpangan perilaku sebagai berikut:
- Korupsi paling rendah adalah perilaku yang terkait dengan pengkhianatan terhadap kepercayaan (betrayal of trust), seperti: tidak disiplin dalam bertugas, mencontek atau melakukan plagiat tulisan ilmiah;
- Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), seperti: nepotisme dalam pengangkatan sanak saudara, teman-teman atau rekan politik tanpa memandang jasa mereka maupun konsekuensinya pada kesejahteraan publik, termasuk memberi nilai bagus pada mahasiswa, karena anak atau kerabat pimpinan. Sekalipun perbuatannya tidak memberikan keuntungan material, tindakannya dapat disebut korupsi;
- Semua bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang mendatangkan keuntungan (material benefit) baik untuk dirinya, keluarga, institusi, klan, dan primodial tertentu.
Tingkatan ketiga ini biasanya ditujukan kepada dua kasus. Pertama,ditujukan kepada pejabat yang menerima pemberian “hadiah” dari seseorang dengan tendensi untuk mencari perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi. Kedua,pejabat yang menyelewengkan dana publik untuk kepentingan dirinya sendiri. Perilaku ini merugikan kepentingan publik, karena penggelapan uang yang mereka lakukan harus dibayar dengan sebuah harga yang juga harus dibayar oleh publik. Dua kasus ini mengandung korupsi yang melibatkan unsur pemerasan (extortion). Dengan demikian, korupsi adalah penempatan kepentingan-kepentingan publik di bawah tujuan-tujuan private dengan pelanggaran norma-norma tugas dan kesejahteraan, yang dibarengi dengan keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan,dan pengabaian yang kejamatas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik.
Sedangkan ciri - ciri korupsi, berbeda dengan tindakan kriminal seperti kriminal dan perampokan. Ciri-ciri Korupsi Menurut Fiqih, sebagaimana dikemukakan oleh Syed Husein Alatas adalah:
- Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang;
- Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali apabila telah merajalela dan berurat berakar;
- Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik. Kewajiban atau keuntungan itu tidaklah senantiasa berupa uang;
- Pelaku korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum;
- Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang tegas dan mampu mempengaruhi keputusan tersebut;
- Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, baik oleh badan publik maupun masyarakat umum;
- Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan;
- Setiap bentuk korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan tindakan itu;
- Suatu perbuatan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjwaban dalam tatanan masyarakat.
Dalam kitab-kitab hadis, beberapa istilah yang sering diidentikkan atau memiliki kedekatan arti dengan korupsi antara lain: Ghulul dan risywah.
Ghulul Bentuk Korupsi Yang Sangat Popular
Ghulul merupakan istilah yang paling banyak digunakan oleh Rasulullah dalam hadis-hadisnya terkait dengan perilaku korupsi atau penggelapan harta publik. Ghulul adalah isim masdar dari kata ghalla ya ghullu ghallan wa ghullun. Artinya, Akhdzu al-syai wa dassabu fi mata’hi” (mengambil sesuatu dan menyembunyikannya dalam hartanya).
Ibnu Hajar al-Asqalani mendefinisikan ghullul dengan “ma yu’khazu min al ghanimati khafiyyatan qabla qismatika” (apa saja yang diambil dari barang rampasan perang secara sembunyi-sembunyi sebelum pembagian). Ada juga pendapat yang hampir sama bahwa ghulul dimaknai “akhdzu al syai wa dassahu fi mata’ibi”(pengkhianatan dalam hal harta rampasan perang).
Semula ghulul merupakan istilah khusus bagi penggelapan harta rampasan perang sebelum dibagikan secara transparan.
Definisi di atas menunjukkan bahwa ghulul terjadi pada penggelapan harta rampasan perang. Hal ini sejalan dengan makna Q.S Ali Imran: 161 dan sejumlah hadis tentang ghulul. Kendati demikian, melihat beberapa hadis lainnya, ghulul juga terjadi pada kasus pegawai/pejabat yang mengambil sesuatu di luar haknya yang diatur secara resmi. Pejabatyang menerima hadiah dari pihak tertentu terkait dengan tugasnya, dan orang yang mengambil tanah orang lain yang bukan haknya. Dengan melihat unsur-unsur yang melingkupinya, cakupan makna ghulul bias diperluas, dikembangkan hingga ke istilah korupsi dalam berbagai bentuknya yang kini semakin canggih modus operandi-nya dan menjadi duri dalam kehidupan masyarakat.
Hadis-hadis tentang ghulul berikut dinilai mewakili kajian tematik tentang korupsi. Hadis pertama terdapat dalam shahih Bukhari, kitab al-Jihad wa al-sair , nomor 2845:
Ali ibn Abdillah telah menceritakan hadis kepada kami. Sufyan telah menceritakan kepada kami. Dari Amr , dari Salim ibn Abi Al-Ja’di, dari Abdullah ibn Umar berkata: bahwa pada rombongan Rasulullah ada seorang bernama Kirkirah yang mati di medan perang. Rasulullah bersabda: “dia masuk neraka”. Para sahabat pun bergegas pergi menyelidiki perbekalan perangnya. Mereka mendapatkan mantel yang ia korup dari harta rampasan perang. (H.R Bukhari).
Hadis kedua dalam Shahih Muslim, kitab al-Iman, Nomor 165:
Zuhair ibn Harb talah menceritakan hadis kepadaku, Hasyim ibn Al-Qasim telah menceritakan hadis kepada kami, Iqrimah ibn Amr telah menceritakan hadis kepada kami. Ia berkata simak al Hanafi Abu Zumail telah bercerita kepadaku. Ia berkata Abdullah ibn Abbas telah menceritakan kepadaku. Umar ibn Al-Khattab menceritakan kepadaku bahwa ia berkata: ketika terjadi perang Khaibar beberapa sahabat Nabi berkata: “si Fulan mati syahid, si Fulan mati syahid. Hingga mereka berpapasan dengan seseorang. Mereka pun berkata: si Fulan mati syahid. Kemudian Rasulullah bersabda: Tidak begitu. Sungguh aku melihatnya di dalam neraka karena burdah (selimut atau aba’ah) mantel yang ia korup dari harta rampasan perang. Lalu Rasulullah saw . berkata: Wahai ibn al-Khattab, berangkatlah dan sampaikan kepada manusia bahwa tidak akan masuk surga selain orang-orang yang beriman.” Maka aku keluar dan menyerukan kepada manusia: ingatlah, sesungguhnya tidak masuk sur ga selain orang-orang yang beriman”. (H.R. Muslim).
Dua hadis di atas menjelaskan tentang peristiwa ghulul/korupsi di medan perang khaibar. Seorang pejuang yang gagah berani dan kemudian mati di medan perang, belum dapat dijamin bahwa ia syahiddan masuk surga. Ternyata setelah diinvestigasi (dilacak) secara cermat dan jujur, orang tersebut terlibat ghulul,mengambil selimut atau mantel dan itu menjadikannya mati sia-sia, kemudian masuk neraka.
Dalam konteks kekinian, seorang pejabat atau pegawai publik (terkait urusan orang banyak) yang telah berjuang mati-matian dalam tugasnya, tetapi jika ditemukan kasus-kasus terkait “ketidakbersihan”, kecurangan, penyalahgunaan jabatan, korupsi dan suap maka citra yang selama ini dibangun menjadi tercemar dan nasibnya pun terancam neraka dalam arti yang luas.
Banyak sekali kasus korupsi atau suap yang menimpa pejabat publik Indonesia mulai dari kasus-kasus kecil hingga kasus besar. Beberapa tindakan berikut dapat dikategorikan sebagai ghulul, misalnya: pejabat/ pegawai yang menggunakan fasilitas negara/publik untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya, pejabat pengadaan barang yang me-mark up (menggelembungkan) biaya pembelian dari yang seharusnya, pegawai parkir yang tidak menyerahkan seluruh pendapatan parkir kepada yang berwenang, petugas pajak yang kongkalikongdengan wajib pajak dan mengajari bagaimana memperkecil tagihan pajak sembari menerima “hadiah” dari wajib pajak tersebut, pejabat yang tidak mengembalikan sarana dinas (kendaraan, rumah dan lain-lain) setelah tidak menjabat lagi.
Bahkan, sering kali diberitakan seorang pejabat/pegawai ketika masih menjabat dikenal bersih, ternyata setelah berakhir masa tugas, diketahui telah menggelapkan kekayaan negara atau publik.
Hadiah Bagi Pejabat/Pemegang Kebijakan Termasuk Ghulul
Jika dalam menjalankan tugas atau jika terkait dengan tugasnya, seseorang yang memiliki jabatan atau mempunyai wewenang tertentu diberi hadiah oleh pihak lain dengan harapan pejabat tersebut dapat memberi kemudahan tertentu atau memberi keringanan tertentu atas suatu tuntutan, maka hadiah yang demikian dikategorikan sebagai ghulul (korupsi). Hal ini dapat dipahami secara logis, sebab hadiah, tips, bingkisan atau parcel tersebut, sedikit atau banyak mempengaruhi kebijakan dan keputusannya sebagai pejabat/pegawai. Contoh yang paling nyata adalah pegawai/pejabat tingkat atas yang mendapat bingkisan/hadiah tertentu dari bawahannya demi memperoleh keuntungan tertentu. Tindakan demikian dapat merusak sistem yang dilandaskan pada asas keadilan dan kejujuran dan tentu akan merugikan kepentingan umum.
Terkait hadiah bagi para pejabat atau pegawai publik, Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Rasulullah mengangkat seorang pegawai. Ketika selesai dari pekerjaannya, ia mendatangi Rasulullah dan berkata: Wahai Rasulullah ini untukmu (untuk baitul mal, baca: negara) dan ini dihadiahkan untukku. Kemudian Rasulullah berkata kepadanya: tidakkah engkau duduk di rumah ayah ibumu, lalu engkau tunggu apakah engkau diberi hadiah atau tidak? Rasulullah pun menyampaikan khutbah malam hari setelah shalat. Beliau mengucapkan syahadat, memuji Allah dengan pujian yang layak bagi-Nya, lalu ia berkata: bagaimana perilaku seorang pegawai yang kami anggap lalu dia datang kepadaku kemudian dia mengucapkan: “Ini hasil dari pekerjaan yang engkau berikan dan dihadiahkan kepadaku”. Tidakkah dia duduk (saja) dir umah ayah-ibunya lalu ia tunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak? Demi Allah, Zat yang jiwa Muhammad di dalam genggamannya, setiap orang yang melakukan ghulul (korupsi), pasti dai akan dating pada hari kiamat sambil mengalungkan barang yang ia korupsi dilehernya. Jika yang dukorup unta maka ia akan membawanya dengan bersuara, sungguh aku telah menyampaikan (peringatan ini). Abu Humaid berkata kemudian Rasulullah saw mengangkat tangannya sampai kami melihat bulu ketiaknya. Abu Humaid mengatakan bahwa Zaid bin Tsabit mendengar pesan itu bersamaku, maka tanyakanlah kepadanya.
Hadis diatas, jika diterapkan pada pejabat masa kini, tentu penjara akan penuh sesak. Pasalnya, banyak pejabat yang ketika bertugas banyak mendapat hadiah ini dan itu yang menurut Rasulullah disebut ghulul.
Betapa banyak pejabat yang menjadi kaya mendadak tidak lama setelah menduduki posisi tertentu, sementara gajinya yang kecil jika berlipat-lipat pun belum tentu setara dengan jumlah kekayaan atau fasilitas yang dimiliki, bila hadis di atas berlaku secara ketat, korupsi dan suap akan bisa dicegah lebih dini. Dalam bahasa yang singkat dan lugas, Rasulullah menegaskan:
Ishaq ibn Isa telah menceritakan hadis kepada kami, Isma’il ibn Ayyasy telah menceritakan hadis kepada kami, dari Y ahya ibn Sa’id, dari Urwah ibn al-Zubair , dari Abi Humaid al-Sa’idi, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Hadiah yang diterima pra pejabat/pemegang kebijakan adalah ghulul (korupsi).”
Pernyataan “Hadiah bagi pejabat adalah korupsi” tersebut perlu disosialisasikan di kantor-kantor pelayanan umum, departemen-departemen pemerintah, kantor kepolisian, imigrasi, bea cukai, dan sebagainya dengan menggunakan berbagai media kampanye. Pasalnya, para pejabat tersebut sudah mendapatkan gaji/upah untuk pekerjaan yang dilakukannya secara rutin. Mereka digaji memang untuk melaksanakan tugasnya tanpa mengharapkan imbalan/hadiah dari masyarakat yang sedang berurusan. Mentalitas pegawai/pejabat yang baru bekerja setelah mendapat hadiah “uang pelicin” dari pengguna jasa adalah bentuk korupsi yang sangat nyata. Muncul pernyataan, apakah seorang yang benar-benar beriman akan ikut melestarikan budaya uang pelicin tersebut?
Hadis di atas dikuatkan oleh banyak hadis. Salah satunya adalah:
Zaid bin Akhzam Abu Thalib telah menceritakan hadis kepada kami, Abu ‘Ashim telah menceritakan kepada kami, dari Abd Al-Warits ibn Sa’id dari Husain al-Mu’alim, dari Abdullah ibn Buraidah, dari bapaknya, dari Nabi Beliau bersabda: “siapa saja yang telah kami angkat untuk mengerjakan suatu pekerjaan/jabatan kemudian kami telah memberikan gaji, maka sesuatu yang diterima di luar gajinya yang sah adalah ghulul (korupsi).”
Hadis di atas berupaya memberikan pencegahan sebelum terjadi kerusakan sistem akibat hadiah dan bingkisan bagi pejabat atau pegawai yang mengurusi suatu tugas terkait urusan publik. Pejabat/pegawai yang telah mendapatkan gaji/pendapatan resmi dan sah sesuai dengan aturan yang berlaku, tidak diperkenankan menerima hadiah dari pihak-pihak lain yang sangat mungkin memiliki kepentingan tertentu yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain. Dari hadis di atas pula, dapat dikembangkan apa yang kini dikembangkan auditkekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat suatu posisi. Artinya, siapa saja yang mengaku suatu jabatan diminta menyerahkan daftar kekayaan secara jujur kepada pihak berwenang. Daftar tersebut menjadi bahan pertimbangan untuk menerima atau tidak pertanggungjawaban pejabat tersebut ketika purnatugas.
Mengambil Tanah Yang Bukan Haknya Termasuk Ghulul
Beberapa hadis Nabi telah menjelaskan tentang seseorang yang mengambil tanah tetangganya secara bathil dikategorikan sebagai a’dzamu al-ghulul (korupsi paling besar). Bahkan ancaman Rasulullah sangat serius bahwa di hari kiamat pelakunya akan dikalungi tujuh tanah yang digelapkan. Hadis-hadis tersebut antara lain:
Abd al-Malik ibn ‘Amr telah menceritakan kepada kami, Zubair yakni ibn Muhammad telah menceritakan hadis kepada kami, dari Abdullah ibn Muhammad ibn ‘Aqil, dari ‘Atha ibn Yasar, dari Abi Malik al-Asy’ari, dari Nabi, beliau bersabda: Ghulul yang paling besar dalam pandangan Allah ‘azza wa jalla adalah satu dzira (sejengkal) tanah yang didapatkan dalam dua orang bertetangga dalam suatu perkebunan atau perumahan. Salah satu dari keduanya mengambil bagian sahabatnya satu dzira (secara tidak sah), niscaya akan dibebankan kepadanya tujuh kali tanah tersebut hingga hari kiamat.
Dikuatkan dengan hadis Ahmad lainnya:
Waqi’ telah menceritakan hadis kepada kami, dari Syarik, dan ‘Abdillah ibn Muhammad ibn ‘Aqil, dari Atha’ibn Yasar , dari Abi Malik al-Asy’ari, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Ghulul yang paling besar dalam pandangan Allah pada hari kiamat adalah sejengkal tanah yang terdapat di antara dua orangatau dua orang yang bersebelahan rumah. Keduanya membagi tanah tersebut, lalu salah satu dari keduanya mengambil satu dzira (sejengkal) dari tanah sahabatnya, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh jengkal tanah.” Ahmad, Musnad Ahmad, no. hadis 21839
Jika dicermati, hadis ini mengingatkan bahwa banyak kasus ghulul terkait dengan masalah tanah. Kasus-kasus penggusuran tanah rakyat dengan dalih pembangunan, penguasaan lahan orang lain, dan perampasan tanah-tanah rakyat/tanah adat oleh jaringan mafia tanah dengan bekal surat tanah yang aspal (asli tapi palsu) yang dapat dikategorikan ghulul besar. Mungkin para penyerobot tanah yang bukan haknya telah bersiap diri mendapatkan balasannya di dunia dan akhirat.